Situasi perang selalu mengorbankan hak asasi perempuan dan anak. Dalam tahun pendudukan Jepang di Indonesia sejak 1942 sampai 1945, ribuan perempuan muda direkrut paksa menjadi Jugun Ianfu atau budak seks untuk tentara Jepang.
Ju=ikut, gun=militer, ian=perempuan, dan fu=penghibur, artinya adalah perempuan penghibur yang ikut militer Jepang. Namun, istilah ini punya konotasi melecehkan dan menutupi realita praktik perbudakan seksual secara sistematis yang sebenarnya terjadi. Konferensi internasional di Korea Selatan tahun 2004 bersepakat mengubah istilah Jugun Ianfu menjadi "ianfu" dengan dua tanda petik, untuk menekankan makna budak seks dalam tiga tahun pendudukan Jepang.
Tentara Jepang menempatkan perempuan mayoritas berusia 12-25 tahun di ianjo (kamp perkosaan atau rumah bordil) yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, melalui cara-cara penipuan, hingga penculikan. Selain Indonesia, Tentara Jepang di Asia Raya telah memobilisasi ratusan ribu (atau mungkin jutaan) perempuan dari sejumlah wilah invasi Jepang seperti China, Korea, Taiwan, dan Filipina.
Mardiyem, seorang penyintas “ianfu” yang menjadi sosok sentral dalam karya Eka Hindra, Momoye, Mereka Meanggilku (2007), usianya masih 13 tahun saat Jepang menduduki Indonesia. Mardiyem diiming-imging menjadi pemain sandiwara oleh ‘calo’ kaki tangan Jepang. Jauh dari panggung teater, Mardiyem bersama 20 perempuan lainnya digelandang ke Asrama Telawang, sebuah ianjo di Kalimantan Selatan. Kamar-kamar dengan label nama Jepang telah menanti mereka. Mardiyem ditipu. Malam pertama di Asrama Telawang, Mardiyem diperkosa tujuh kali.
Mardiyem dan perempuan lain dipaksa melayani 10 hingga 15 orang setiap harinya. Pelayanan ianjo menyediakan sistem karcis berdasar pangkat dan status pengunjung. Satu karcis berlaku untuk satu jam layanan. Pukul 12.00-17.00 sore adalah jam khusus serdadu pangkat rendah dengan harga karcis 2,5 yen/jam. Pukul 17.00-24.00 untuk masyarakat sipil Jepang dengan harga 3.5 yen/jam. Lalu pukul 24.00-pagi diperuntukkan bagi serdadu berpangkat perwira dengan harga 12,5 yen/jam. Setiap tamu yang membeli karcis akan mendapat nomor kamar yang diinginkan, serta dua buah kondom bermutu rendah.
Budaya Pemerkosaan dalam Situasi Perang
Penyediaan budak seks untuk militer Jepang bermula sejak pendudukan Jepang di China tahun 1931. Peristiwa pembantaian Nanking, sebuah episode jagal dan perkosa massal oleh tentara Jepang terhadap penduduk Nanking sebagai strategi perang. Sejarah mencatat dalam waktu enam minggu (Desember 1937 - Januari 1938) tentara Jepang telah memperkosa lebih dari 20.000 perempuan China dari segala umur. Setelah diperkosa, sebagian korban korban lantas dibunuh sesudah diperkosa secara brutal.
“Pembantaian ini membuat banyak tentara terjangkit penyakit kelamin dan melemahkan kekuatan mereka dalam berperang,” tulis sejarawan Hata Ikuhiko dalam bukunya Comfort Women and Sex in The Battle Zone (2018). Krisis kesehatan dalam peperangan lantas mendorong seorang dokter militer, Aso Tetsuo, merekomendasikan penyediaan rumah bordil khusus bagi tentara Jepang. Dengan mendatangkan perempuan-perempuan "bersih" dari wilayah lain, maka kesehatan tentara Jepang dapat dikontrol. Sistem perekrutan paksa terhadap ratusan ribu perempuan untuk dijadikan “ianfu” pun resmi dimulai.
Buku Momoye, Mereka Memanggilku (2007) mencatat ada seorang veteran Jepang, Suzuki Yoshio, yang pernah ditugaskan ke China Utara tahun 1940, bersaksi bahwa tindak pemerkosaan dalam dunia militer adalah tindakan yang wajar, sama wajarnya dengan bertempur. Di balik pewajaran ini ada konstruk budaya yang berkaitan dengan pandangan tradisional mengenai perempuan sebagai objek seksual belaka. Hal ini dikuatkan pula oleh hegemoni maskulinitas yang tumbuh khususnya di kelompok militer Jepang dan umumnya di masyarakat Jepang era kekaisaran.
War and Rape: Analytical Approaches (1993) karya Ruth Seifert menjelaskan bahwa konstruksi maskulinitas di masyarakat hampir tidak dapat dipisahkan dengan heteroseksualitas dan kekerasan. Konstruk tersebut melihat, seorang laki-laki homoseksual dianggap kurang maskulin daripada laki-laki heteroseksual. Demikian juga laki-laki lemah lembut dianggap kurang maskulin daripada laki-laki agresif.
Perang termasuk aktivitas maskulin yang mengekspresikan kultur patriarkal. Lewat peranglah maskulinitas bertabir kekerasan mengejawantah dan memangsa seksualitas perempuan. Semua ini berkaitan dengan hausnya rasa superioritas laki-laki sebagai kelompok yang kuat dan berkuasa, termasuk berkuasa atas tubuh perempuan.
Tentara Jepang menempatkan perempuan mayoritas berusia 12-25 tahun di ianjo (kamp perkosaan atau rumah bordil) yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, melalui cara-cara penipuan, hingga penculikan. Selain Indonesia, Tentara Jepang di Asia Raya telah memobilisasi ratusan ribu (atau mungkin jutaan) perempuan dari sejumlah wilah invasi Jepang seperti China, Korea, Taiwan, dan Filipina.
Mardiyem, seorang penyintas “ianfu” yang menjadi sosok sentral dalam karya Eka Hindra, Momoye, Mereka Meanggilku (2007), usianya masih 13 tahun saat Jepang menduduki Indonesia. Mardiyem diiming-imging menjadi pemain sandiwara oleh ‘calo’ kaki tangan Jepang. Jauh dari panggung teater, Mardiyem bersama 20 perempuan lainnya digelandang ke Asrama Telawang, sebuah ianjo di Kalimantan Selatan. Kamar-kamar dengan label nama Jepang telah menanti mereka. Mardiyem ditipu. Malam pertama di Asrama Telawang, Mardiyem diperkosa tujuh kali.
Mardiyem dan perempuan lain dipaksa melayani 10 hingga 15 orang setiap harinya. Pelayanan ianjo menyediakan sistem karcis berdasar pangkat dan status pengunjung. Satu karcis berlaku untuk satu jam layanan. Pukul 12.00-17.00 sore adalah jam khusus serdadu pangkat rendah dengan harga karcis 2,5 yen/jam. Pukul 17.00-24.00 untuk masyarakat sipil Jepang dengan harga 3.5 yen/jam. Lalu pukul 24.00-pagi diperuntukkan bagi serdadu berpangkat perwira dengan harga 12,5 yen/jam. Setiap tamu yang membeli karcis akan mendapat nomor kamar yang diinginkan, serta dua buah kondom bermutu rendah.
Budaya Pemerkosaan dalam Situasi Perang
Penyediaan budak seks untuk militer Jepang bermula sejak pendudukan Jepang di China tahun 1931. Peristiwa pembantaian Nanking, sebuah episode jagal dan perkosa massal oleh tentara Jepang terhadap penduduk Nanking sebagai strategi perang. Sejarah mencatat dalam waktu enam minggu (Desember 1937 - Januari 1938) tentara Jepang telah memperkosa lebih dari 20.000 perempuan China dari segala umur. Setelah diperkosa, sebagian korban korban lantas dibunuh sesudah diperkosa secara brutal.
“Pembantaian ini membuat banyak tentara terjangkit penyakit kelamin dan melemahkan kekuatan mereka dalam berperang,” tulis sejarawan Hata Ikuhiko dalam bukunya Comfort Women and Sex in The Battle Zone (2018). Krisis kesehatan dalam peperangan lantas mendorong seorang dokter militer, Aso Tetsuo, merekomendasikan penyediaan rumah bordil khusus bagi tentara Jepang. Dengan mendatangkan perempuan-perempuan "bersih" dari wilayah lain, maka kesehatan tentara Jepang dapat dikontrol. Sistem perekrutan paksa terhadap ratusan ribu perempuan untuk dijadikan “ianfu” pun resmi dimulai.
Buku Momoye, Mereka Memanggilku (2007) mencatat ada seorang veteran Jepang, Suzuki Yoshio, yang pernah ditugaskan ke China Utara tahun 1940, bersaksi bahwa tindak pemerkosaan dalam dunia militer adalah tindakan yang wajar, sama wajarnya dengan bertempur. Di balik pewajaran ini ada konstruk budaya yang berkaitan dengan pandangan tradisional mengenai perempuan sebagai objek seksual belaka. Hal ini dikuatkan pula oleh hegemoni maskulinitas yang tumbuh khususnya di kelompok militer Jepang dan umumnya di masyarakat Jepang era kekaisaran.
War and Rape: Analytical Approaches (1993) karya Ruth Seifert menjelaskan bahwa konstruksi maskulinitas di masyarakat hampir tidak dapat dipisahkan dengan heteroseksualitas dan kekerasan. Konstruk tersebut melihat, seorang laki-laki homoseksual dianggap kurang maskulin daripada laki-laki heteroseksual. Demikian juga laki-laki lemah lembut dianggap kurang maskulin daripada laki-laki agresif.
Perang termasuk aktivitas maskulin yang mengekspresikan kultur patriarkal. Lewat peranglah maskulinitas bertabir kekerasan mengejawantah dan memangsa seksualitas perempuan. Semua ini berkaitan dengan hausnya rasa superioritas laki-laki sebagai kelompok yang kuat dan berkuasa, termasuk berkuasa atas tubuh perempuan.
Potret Ronasih, penyintas "ianfu" yang hidup seorang diri di Sukabumi, Jawa Barat. Kini kondisi kesehatan dan ekonomi Ronasih semakin memburuk. 31 Oktober 2020. Foto oleh Abida Ainun Nuha/Arsiparia. |
Rape culture (budaya pemerkosaan), atau pewajaran dan normalisasi kekerasan seksual, salah satunya bersumber dari campuran antara perasaan tersebut dan diskriminasi etnis dan gender yang para serdadu Jepang alami selama di medan peperangan mancanegara. Dengan kata lain, “ianfu” sebagai kebijakan perang sedikit-banyak dipengaruhi konstruk kultural masa itu.
Dalam kasus Pembantaian Nanking, para tentara Jepang didoktrin bahwa ras mereka lebih tinggi dari bangsa lainnya. Orang Jepang menyebut etnis China dengan istilah Changkoro, sebutan yang menyiratkan sebuah tatapan pejoratif bahwa etnis China tak lebih seperti hewan atau serangga. Indoktrinasi ini membuat tentara Jepang tidak segan untuk membunuh penduduk sipil dan memperkosa perempuan-perempuan China.
Atasan mereka memberi iming-iming medali untuk serdadu yang berhasil membunuh penduduk China terbanyak. Situasi ekstrim seperti perang memungkinkan pembunuhan terhadap musuh dianggap sebagai prestasi terpuji, sehingga moralitas dan perasaan empati terhadap tindak pemerkosaan akhirnya menjadi hilang.
Perang dan pemerkosaan pada dasarnya dikaitkan oleh fungsi strategis dalam mencapai tujuan-tujuan militer. Yuki Tanaka dalam jurnal berjudul War, Rape and Patriarchy: The Japanese Experience (2019) mengungkapkan bahwa pemerkosaan dalam perang memiliki sejumlah efek yang beragam. Selama periode perang, tindak pemerkosaan berfungsi untuk mengintensifkan agresifitas tentara.
Setelah kemenangan dicapai atau dalam situasi paska perang, pemerkosaan dapat berfungsi untuk mempertahankan rasa dominasi atas pihak musuh, serta anggapan bahwa perempuan adalah rampasan perang yang sah. Tentara Jepang bukan satu-satunya kekuatan militer yang menggunakan pemerkosaan sebagai alat untuk mempertahankan agresifitas tentara. Dalam perang Falklands tahun 1982, tentara Inggris yang diangkut ke medan perang dengan kapal diperlihatkan film pornografi yang bermuatan kekerasan sebagai cara untuk merangsang agresifitas mereka sebelum berperang.
Nasib Akhir Para Penyintas
Kini jumlah penyintas yang masih hidup semakin sedikit. Di usia yang semakin menua, mereka masih menjadi korban kejahatan perang yang tak pernah diakui secara terbuka. Jepang menolak keterlibatan militer dalam kasus “ianfu”, mereka menyatakan ianjo didirikan dan dikelola oleh pihak swasta sepenuhnya untuk tujuan komersil, bukan militer. Sementara pemerintah Indonesia ingin agar kasus “ianfu” dilupakan tanpa ada upaya restorasi hak-hak korban dan rekonsiliasi diplomatik. Sikap dan kebijakan ini nir-empati, dan makin melanggengkan penderitaan penyintas yang tak berkesudahan, bahkan sampai mayoritas dari mereka tutup usia.
Jumlah korban perbudakan seksual oleh militer Jepang selama perang Asia-Pasifik diperkirakan mencapai puluhan hingga ratusan ribu orang. Tahun 1993, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta berhasil mencatat 1.156 penyintas dari berbagai wilayah di Indonesia, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan, Sumatra, hingga Nusa Tenggara. Forum Komunikasi Ex-Heiho Indonesia di tahun 1996 juga melakukan pendataan dan berhasil menemukan 23.277 orang penyintas.
Penulis
Hamima Nur Hanifah adalah lulusan Antropologi Budaya di Universitas Gadjah Mada. Saat ini bersama komunitas Arsiparia tengah menggarap sebuah projek arsip bertemakan “ianfu” di Indonesia.